Malam itu jarum jam tanganku menunjukkan waktu 20.34, rupanya masih terlalu dini bagi kehidupan Jakarta ‘tuk terlelap. Di sebuah bangku metro mini aku terpaku, menatap ke balik kaca jendela yang terbuka di sisi kananku. Malam itu memang masih terlalu dini, jalanan masih begitu sibuknya memainkan cerita.
Saat ini mungkin sebagian orang sudah berkumpul di tengah keluarganya di rumah, atau bahkan mungkin sudah terlelap di balik selimutnya. Namun sebagian orang lagi saat ini masih terjebak di antara rumitnya jalanan ibukota. Salah satunya adalah aku dan penumpang di metro mini ini.
Di sebelahku duduk seorang ibu, atau mungkin lebih cocok kalau dipanggil nenek. Entah mau kemana atau darimana si nenek ini. Dia begitu serius memperhatikan jalanan hingga membuatnya mengernyit, menambah kerutan di keningnya. Di seberang bangkuku duduk seorang wanita dengan pakaian kantor yang masih rapi.
Lalu di depanku duduk pasangan muda dengan seorang anak perempuan di pangkuan mereka. Anak perempuan itu begitu bahagia di tengah kedua orang tuanya. Seringkali sang ayah menggoda si anak dengan mencubit pipinya dan si anak pun membalas ayahnya dengan manja. Sesaat aku teringat almarhum bapakku, meski aku tak pernah bersikap semanja itu dulu.
Mataku beralih ke luar jendela, sorot lampu mobil yang datang dari arah berlawanan cukup untuk membuatku memicingkan mata. Asap knalpot, sahutan klakson tanpa henti juga cukup menambah ramai jalanan di salah satu sudut ibukota pada saat itu. Tiba-tiba metro mini berhenti, rupanya lampu merah (lagi). Entah sudah berapa kali kami berhenti karena lampu merah.
Pandanganku sekarang beralih ke sisi sebelah kiri, menatap keluar melalui pintu metro mini yang selalu terbuka itu. Tampak segerombolan bocah yang tadinya berkumpul dan bercanda di trotoar kini mulai berhamburan ke tengah jalanan, ke arah mobil dan motor yang berhenti di perempatan itu. Dengan mudahnya para tubuh mungil itu melangkah di sela-sela kendaraan.
Seorang bocah yang kira-kira berusia 8 tahun mendekati kaca sebuah mobil, dengan memainkan alat musik sederhana dari rangkaian tutup botol di tangannya, dia bernyanyi… Entah apa yang dia nyanyikan, aku tak tahu… yang aku tahu hanyalah, anak sekecil itu tak seharusnya bergelut di jalanan ‘tuk mencari kehidupan karena dia telah dianugerahi sebuah kehidupan, ya… sebuah kehidupan sederhana yang bernama dunia anak-anak.
Dunia yang aku temukan ketika melihat pancaran mata mereka.. Dunia bermain yang penuh canda tawa di antara bunyi-bunyian alat musik yang mereka mainkan lalu hilang di keramaian. Dunia yang sama, yang juga aku temukan di pancaran mata si anak perempuan yang duduk didepanku kepada ayahnya. Meski cerita mereka dimulai dari halaman yang berbeda..
Bocah itu masih bernyanyi, tak lama kemudian kaca jendela dihadapannya terbuka.. Sebuah lambaian tangan menyapanya.. Dia tersenyum meski bukan itu yang dia tunggu.
Lampu merah berganti hijau, metro mini mulai beranjak. Sekali lagi aku melirik jam tanganku, 20.37. Tiga menit berlalu.. Di sini, di sebuah persimpangan jalan, beragam cerita kehidupan pun beradu.