Bulan,
Apa kabar?
Aku tak pernah memperhatikanmu seperti malam itu sebelumnya. Aku masih ingat apa fasemu, seberapa terang cahayamu, bahkan seberapa banyak bercak di permukaanmu.
Lalu sejak saat itu, setiap malam aku selalu memandang langit.
Mencarimu. Bertanya-tanya, apa fasemu malam ini..
Dan malam ini kau purnama. Gerhana katanya.
Dulu, orang memandang langit untuk menentukan waktu. Mengamati bintang untuk menentukan musim, arah, dan cuaca. Mungkin hal itu masih dilakukan hingga sekarang.
Iya, seperti aku saat ini, yang selalu mencarimu, untuk menghitung sudah berapa lama waktuku berjalan. Untuk menghitung sudah berapa banyak waktu yang aku habiskan untuk mengenang hingga semua memori itu menipis, aus, dan usang pada akhirnya.
Memori yang selalu membawaku ke masa di mana aku pertama kali jatuh cinta pada fase sabitmu. Masa di mana aku bisa memandangmu dari sudut jendela yang masih kurindu..
Iya, masih, sayangnya masih..
Lalu sekarang, apa kau sudah siap untuk gerhana?
kalau aku? sudah..
—
“Try to imagine a life without timekeeping. You probably can’t. You know the month, the year, the day of the week. There is a clock on your wall or the dashboard of your car. You have a schedule, a calendar, a time for dinner or a movie. Yet all around you, timekeeping is ignored. Birds are not late. A dog does not check its watch. Deer do not fret over passing birthdays. An alone measures time. Man alone chimes the hour. And, because of this, man alone suffers a paralyzing fear that no other creature endures. A fear of time running out.” ― Mitch Albom, The Time Keeper