Mimpi

 

+ Apa kamu punya mimpi?

– Pernah punya.

+ Pernah?

– Iya, pernah. Banyak malah.

+ Banyak? Lalu sekarang?

– Musnah. Yang tersisa hanya mimpi buruk.

Apa warna hari ini?

Aku merindukan sebuah masa. Sebuah masa ketika aku bisa melihat warna-warna. Warna yang menari dari setiap tutur dan nada yang terdengar telinga. Warna yang keluar dari bau masakan nenek di dapur. Warna yang terpancar dari tanah di mana kaki ini melangkah.

Setiap hari seperti petualangan baru bagiku. Karena, setiap hari akan berganti berganti warna dasarnya. Kalau Senin berwarna merah muda, Selasa pasti berwarna jingga. Tapi, aku masih ingat.. ada satu hari yang selalu sama warnanya. Hijau.. dan itu hari Sabtu.

Aku benar-benar rindu masa itu karena sekarang semua terlihat sama saja, hitam dan putih.

Ada Kutu di Kepalaku

Ada kutu di kepalaku

Kalau mendengar kata “kutu”, apa yang pertama kali kalian bayangkan atau rasakan?

Gatal?
Jijik?
Parasit?
Atau kalian langsung garuk-garuk kepala?

Terus kalau aku bilang, “ada kutu di kepalaku,” apa yang kalian pikirkan?

Oke, simpan dulu jawabannya. Jangan kasih tahu aku sekarang.

Eh tapi, aku serius. Ada kutu di kepalaku. Namun, bukan kutu yang itu, bukan kutu yang kalian bayangkan. Kutu ini sama-sama parasitnya dengan kutu manusia. Sama-sama suka mengisap sesuatu dari inangnya. Tapi kutu ini bukannya mengisap darah, ia malah mengisap hampir seluruh energi dan kewarasanku. Tak pernah bisa ditebak kapan ia beraksi. Sesuka hatinya. Aku tak bisa mengusirnya. Sering aku jambak rambutku atau ‘ku pukul-pukul kepalaku agar ia pergi. Tak pernah berhasil. Ia masih di sana.

Ia sering membisikkan sesuatu kepadaku. Katanya ia membenciku dan ingin mengambil kendali semuanya.

Jangan kaubenci dulu bulan Agustus

Hai, kamu. Apa kabar?

Duh, pertanyaanku ini bodoh sekali. Tentu saja saat ini kamu sedang tidak baik-baik saja dan karena itu pula aku mengirim surat ini kepadamu. Iya, kamu benar. Sepucuk surat mungkin tidak akan bisa mengobati lukamu saat ini. Dan maafkan aku, karena baru saja menemukan nyali untuk menyapamu setelah menunggu lama. Namun, tolong percayalah, seandainya bisa, aku sangat ingin pergi ke sana dan memelukmu erat sekali. Apa pun akan kulakukan agar kamu tidak merasa sendirian dan menyakinkanmu bahwa itu semua bukanlah salahmu.

Bukan, sama sekali bukan.

Aku mengerti, kok, kalau kamu lebih memilih untuk melalui ini semua sendirian. Tetapi, aku ingin mengatakan kepadamu bahwa pada akhirnya, kamu akan bisa melalui semua ini. Meskipun tidak mudah sama sekali. Kamu itu sangat kuat, jauh lebih kuat daripada yang kamu sangka saat ini. Sampai aku sendiri pun harus mengucapkan terima kasih karena aku bisa bertahan sampai sekarang ini, sampai detik ini. Semua ini, yaa … karena kamu.

Aku tidak akan menjadi Aku yang sekarang kalau saja kamu tetap keras kepala dan meneruskan niatmu untuk tetap bergeming di dalam air perih berkaporit itu. Kamu urungkan niatmu itu karena kamu takut kalau nanti di alam sana ketemu Bapakmu, kan? Takut dipukul pakai sapu penebah kasur, pikirmu saat itu. Pikiran konyol yang justru menyelamatkanmu. Padahal mungkin, Bapakmu akan menyambutmu dengan gembira dan memelukmu erat sekali. Sama seperti yang aku inginkan saat ini. Memelukmu.

Aku pun akan mengerti kalau nantinya kamu akan membenci bulan Agustus. Tidak apa-apa. Agustus memang akan terus menjadi mimpi buruk kita berdua, sampai detik ini. Rasa benci itu pun seringkali berubah menjadi rindu. Mungkin karena sudah lama terbiasa dengan rasa sakit, hingga saat rasa sakit itu tak ada, kita kebingungan mencarinya ada di mana. Tetapi sekali lagi, tidak apa-apa, itu semua bukan salahmu.

Eh tapi, tunggu sebentar! Kamu jangan terlalu benci dulu dengan bulan Agustus. Karena beberapa hari yang lalu, kamu baru saja merayakan ulang tahun perkawinanmu, dengan orang yang kamu cintai dan mencintaimu.

Dariku,
Dirimu.

Whatsapp Group

Orang-orang di grup Whatsapp itu ….

Ada yang suka kirim hoax (berita bohong) atau pesan berantai dengan embel-embel “Viralkan …”
Ada yang suka kirim meme doank.
Ada yang suka jawab “… googling aja” kalau ditanya.
Ada yang suka ngetik satu pesan, tapi panjaaaaaaaaaaaaang.
Ada yang suka ngetik pesan panjang, tapi setiap satu kalimat/kata di-enter.
Ada yang suka saltik.
Ada yang suka nyasar, alias salah kamar.
Ada yang suka nulis pakai emotikon.
Ada yang suka kirim stiker aneh-aneh (aku nggak tahu mereka itu dapat dari mana, ya?).
Ada yang suka kirim swafoto (foto selfie).
Ada yang suka kirim foto makanan.
Ada yang suka kirim pranala (link) situs web.
Ada yang jarang nongol, kalaupun nongol cuma jempolnya aja.
Ada yang jarang nongol, begitu nongol yang ditanyain malah “Group ini masih hidup?” (berarti semua anggota grupnya jarang nongol, hehehe).
Ada yang suka typing … tapi nggak pernah terkirim pesannya.
Ada yang suka kirim pesan suara.
Ada yang suka nanya soal yang sama tanpa gulir ke atas (scroll up) dulu.
Ada yang suka ngajak ketemuan … karena dari tahun lalu belum kesampaian
Ada yang suka nanya DLT (Di Luar Topik) di tengah-tengah diskusi seru.
Ada yang suka ngobrol berdua (1 on 1) di grup … dan panjang.
Ada yang suka ngambek (left group), tapi japri ke admin minta dimasukkin lagi.

Apa lagi, ya?

Gaya Hidup Saya Berubah Selama di Spanyol

Snow in Andorra
Suatu hari di Andorra, 2018

Sebenarnya komentar beberapa teman saya yang bilang kalau saya tidak berubah setelah tinggal di Spanyol (baca post sebelumnya), kurang tepat. Selama hampir 3 tahun tinggal di Spanyol tentu saja saya berubah. Berikut adalah beberapa perubahan saya yang “signifikan” selama di sini.

Sering Masak

Ini adalah perubahan saya yang sangat signifikan. Hehehe. Dulu, sebelum pindah ke Spanyol, saya jarang banget masak lho, atau bisa dibilang nggak pernah masak. Bukannya malas, tapi ya gimana lagi, kan di dekat rumah banyak yang jual makanan. Tinggal jalan belok kiri, ada nasi padang; belok kanan, ada nasi pecel; bahkan diam di rumah aja banyak abang-abang yang lewat, tinggal manggil. Kalau lapar tengah malam pun ada yang nolong, yaitu abang tukang mie dok-dok, jadi hitung-hitung bagi rezeki (ih ngeles) hehehe. Tapi pas pertama kali menginjakkan kaki di Spanyol, duh, rasa makanannya belum ada yang cocok. Asin semua!!

Jadi salah satu cara untuk bertahan hidup di sini adalah meMASAK! Kalau buat mereka yang hanya jalan-jalan aja sih mungkin bisa bertahan, karena rata-rata paling lama cuma 2 minggu. Setelah itu bisa balik ke Indonesia lalu makan nasi padang. Hehehe. Tapi bagi mereka yang tinggal di luar negeri, mereka harus bisa survive. Jadi mau nggak mau harus (bisa) masak sendiri.

Dan sejak tinggal di sini, saya jadi rajin masak, resep nusantara tentu saja. Suami pun jadi terbiasa makan pedas. Saya jarang masak makanan Spanyol. Kalaupun masakan Spanyol, paling gampang bikin Tortilla de Patata, alias omelet kentang Spanyol. Saya juga jadi sering nonton kanal memasak di Youtube, atau follow akun resep masakan di Instagram. Kadang suka sedih kalau lagi browsing di Youtube cari ide resep, karena dijamin bakalan ngiler duluan. Duh kangen, pengen pulang. Lalu kalau mau masak resep yang sebenarnya gampang, harus disiapin bahan-bahannya dari jauh-jauh hari karena harus belanja dulu ke toko Asia di Barcelona (sekitar 25 km dari Sabadell, kota tempat saya tinggal).

Sering Jalan Kaki

Kalau di Jakarta atau Surabaya sudah pasti kemana-mana naik Ojol. Di sini, selain sistem transportasi umumnya yang bagus dan nyaman (tapi tetap harus hati-hati karena banyak copet juga di Barcelona), trotoarnya pun lebar jadi nyaman untuk jalan kaki.

Street in Jaen, Spain
Salah satu sudut jalan di Jaen, Spanyol (2016)

Barcelona dan Sabadell sih masih enak kalau untuk jalan kaki karena jalanannya relatif datar. Di Jaen, kota tempat saya kuliah dulu, jalanannya naik turun karena kontur tanahnya berbukit. Jadi lumayanlah olahraga tiap hari, nggak perlu pergi ke gym.

Suka Bawang Goreng

Dulu saya paling anti bawang goreng. Setiap kali pesan soto atau bubur ayam, saya selalu bilang, “Gak pake bawang goreng ya, Bang.” Tapi di sini, lidah saya tiba-tiba lupa kalau pernah benci bawang goreng. Jadi ceritanya waktu awal-awal tinggal di Jaen, saya diajak teman-teman makan di 100Montaditos, salah satu franchise makanan cepat saji di sini. Montadito adalah semacam sandwich berukuran mini dengan roti sejenis baguette. Lalu waktu saya makan salah satu montaditonya (rasa ikan tuna kalau tidak salah), eh kok tumben enak dan cocok di lidah. Ternyata ada bawang gorengnya. Oh, rasanya enak juga ternyata. Mungkin karena bawang goreng di sini umumnya dibuat dari bawang bombay jadi rasanya lebih lembut daripada bawang merah (shallot) goreng. Sejak itulah, bawang goreng menyelamatkan hidup saya. Di rumah, kami jadi selalu punya stock bawang goreng sekarang.

Sering Makan Indomie

Memang ya, dimana-mana kalau tinggal di luar negeri pasti yang bikin kangen adalah.. Indomie! Saya sebenarnya alergi MSG atau micin. Setiap kali makan Indomie atau snack yang banyak micinnya, saya pasti kembung dan pusing setelahnya. Jadi saya jarang sekali makan Indomie di Indonesia. Tapi di sini, Indomie itu pengobat rindu dan penyelamat kalau lagi malas masak. Hehehe.

Saya jadi ingat kata seorang teman saya, “Kalau di sini, makan Indomie itu BAHAYA. Tapi kalau di sana, kamu pasti BAHAGIA.” Aah, bener banget kamu, Jum.

Sering Makan Salad

Meskipun saya di sini jadi sering makan Indomie, saya juga jadi sering makan salad lho. Jadi seimbang kan? Hehehe. Sebenarnya dulu di Indonesia saya juga sering makan salad kok, alias lalapan. Hihi. Tapi memang kalau diperhatikan, kebiasaan makan sayur orang barat dengan orang Indonesia pada umumnya memang berbeda. Di sini sayur lebih banyak dimakan mentah. Kalau kita di Indonesia kan sayurnya selalu dimasak atau minimal ditumis, jadi sudah satu paket. Contohnya sayur bening/bayam, plecing kangkung, sayur sop, sayur lodeh, atau gado-gado. Aduh, mengetik namanya saja saya jadi lapar.

Tidak Pernah Setrika

Dulu sering sekali punya tumpukan baju di sudut kamar kos (kalau pas rajin nyuci, hihi) karena malas setrika. Saya harus mengumpulkan semangat yang cukup jauh-jauh hari sebelumnya. Di sini, sewaktu tinggal di Jaen, saya tidak pernah melihat teman kos saya setrika baju. Eh, pernah, tapi cuma sekali. Itupun karena bajunya masih lembab, waktu itu musim dingin jadi dia setrika bajunya dan cuma satu, yang mau dia pakai besok pagi.

Saya sempat berpikir, mungkin di sini anak-anak remajanya saja yang jarang setrika. Di rumah mereka pasti orang tuanya yang setrika baju. Eh, setelah menikah, ternyata suami dan mertua juga tidak pernah setrika. Setrikaan sih punya, tapi tidak pernah dipakai. Jadi setelah angkat jemuran, pakaiannya hanya dilipat dan masuk lemari. Saya sih senang, nggak perlu repot setrika. Cepat dan hemat (listrik). Kalau melipatnya bener, baju jadi nggak kusut kok. Coba deh, daripada baju ditumpuk-tumpuk, jadi rumah nyamuk.

Belajar Lebih Banyak Tentang Negeri (dan Diri) Sendiri

Tiga tahun tinggal di negeri orang membuat saya semakin belajar banyak hal tentang negeri sendiri. Karena yang pertama dan utama, di sini saya pasti dibanjiri banyak pertanyaan oleh orang-orang yang tidak tahu dan ingin tahu soal Indonesia. Contoh yang sederhana adalah ketika saya ditanya, “Bedanya antara bendera Indonesia dan Monako apa?” Duh apa yah. Selama ini saya hanya tahu kalau sama-sama berwarna merah putih. Tapi tentu saja ada bedanya. Jadi mau nggak mau saya harus browsing di internet untuk cari tahu jawabannya. Sejak itu, saya jadi sering browsing hal-hal sederhana tentang Indonesia yang tidak pernah saya perhatikan sebelumnya. Tanpa sadar, saya jadi lebih mencintai negeri sendiri justru saat tinggal di negeri orang.

Memang kita harus pergi merantau atau keluar dari zona nyaman kita selama ini untuk mengenal dunia luar. Dan yang paling penting adalah mengenal diri kita sendiri. Tidak harus keluar negeri kok, yang sederhana saja. Contohnya pergi ke tempat yang sama sekali belum pernah kita singgahi sebelumnya, ke tempat yang sama sekali berbeda bahasa dan budayanya, yang tidak ada satupun kerabat di sana. Lalu mau tidak mau kita harus beradaptasi dan memperluas perspektif kita dengan menjadi lebih terbuka dengan segala perbedaan. Karena di dunia ini tidak semua orang suka makan bubur ayam tanpa diaduk.