Tentang Kulwap

Pertama kali mendengar istilah Kulwap (Kuliah Whatsapp) itu sekitar 2 tahun yang lalu. Waktu itu salah seorang teman saya bercerita kalau dia habis ikutan kulwap tentang penulisan cerita anak.

Kulwap, oh, menarik juga konsepnya. Pertemuan saya dengan istilah ini ternyata hanya sebatas itu saja. Saya tidak pernah sekali pun ikut atau membuat kulwap. Akan tetapi, sebulan terakhir ini saya malah aktif menjadi salah satu admin grup kulwap mingguan.

Ceritanya berawal dari salah satu grup Whatsapp yang sering mengobrol tentang tema-tema yang agak “berat” (di luar obrolan soal makanan tentunya), tetapi obrolan di Whatsapp ini suka ngalor ngidul dan akhirnya seringkali diskusi tadi tak sempat terdokumentasikan dan “ngambang” di tengah jalan karena tertimbun komentar atau obrolan DLT (Di Luar Topik) lainnya. Jadi, tercetuslah ide untuk membuat jadwal sesi diskusi di grup itu.

Bak gayung bersambut, dari yang tadinya cuma jadwal, teman-teman yang lain pun akhirnya setuju untuk membuat grup kulwap agar bisa secara khusus digunakan sebagai ruang diskusi dan belajar.

Awalnya, kami juga masih belum tahu banyak tentang kulwap, cara penyampaian materinya bagaimana, mekanisme diskusinya seperti apa, dll. Akhirnya setelah cari info ke sana kemari dan ikut salah satu kulwap teman biar tahu bagaimana alurnya, kami pun jadi pede untuk mengelola grup kulwap.

Berikut sekelumit pengalaman saya mengelola kulwap. Semoga bermanfaat.

Apa itu Kulwap?

Sesuai kepanjangannya, kulwap adalah obrolan  seputar tema tertentu yang menggunakan fasilitas grup Whatsapp. Pada dasarnya, konsep kulwap hampir sama dengan webinar, namun materi dan diksusi disampaikan terutama lewat pesan teks. Gambar/dokumen/tautan web juga dapat dipakai jika diperlukan. Jadi, tidak ada panggilan video atau suara di sini, hanya teks saja seperti mengobrol di grup chat biasa, tapi alur obrolannya diatur oleh admin/moderator.

Bagaimana caranya ikut kulwap?

Seperti webinar pada umumnya, pihak penyelenggara biasanya akan membagikan tautan kepada peserta untuk bergabung. Kulwap pun demikian. Ada kulwap yang mewajibkan pendaftaran terlebih dahulu, baru kemudian tautan grup dibagikan lewat pesan Whatsapp. Ada juga kulwap yang bebas dan tautannya sudah langsung tersedia, jadi peserta bisa langsung gabung/masuk tanpa mendaftar terlebih dahulu.

Kulwap ada yang gratis dan ada yang berbayar. Topiknya pun macam-macam. Mulai dari parenting, sosial budaya, bahasa, hingga bisnis.

Peran apa saja yang ada di grup kulwap?

Secara umum ada 4 peran utama yang ada di suatu grup kulwap: admin, moderator, pemateri, dan (tentu saja) peserta.

  1. Admin bertugas untuk menyiapkan kulwap, mengundang pemateri, menyebarkan poster, mengelola pendaftaran peserta, dsb.
  2. Moderator bertugas untuk mengarahkan dan mengatur alur penyampaian materi dan diskusi.
  3. Pemateri tugasnya menyiapkan dan menyampaikan materi 😀
  4. Peserta tugasnya mengikuti materi dengan manis dan bertanya kalau ada yang kurang jelas.

Mekanisme dan Tata Cara Kulwap

Sesi Materi
Karena pada kulwap materi disampaikan lewat pesan teks, jadi diperlukan tata cara untuk mengatur dan mengarahkan jalannya penyampaian materi dan diskusi. Biasanya ketika materi disampaikan, setelan grup akan diubah dan hanya mengizinkan adminnya saja yang bisa mengirimkan pesan ke grup. Peserta hanya akan menerima pesan dan tidak bisa mengirim atau membalas pesan agar materi dapat disampaikan tanpa interupsi.

Baru setelah materi selesai dan materi selesai, grup akan dibuka kembali dan semua orang dapat mengirim pesan untuk bertanya, dll.

Sesi Diskusi
Pada sesi ini, grup sudah dibuka. Peserta bisa mengajukan pertanyaan. Biasanya, moderator akan membagi diskusi dalam beberapa sesi. Pertanyaan dari peserta juga bisa dikumpulkan sebelum kulwap dimulai. Bergantung pada kebutuhan dan alurnya.

Setelah kulwap berakhir, grup bisa ditutup atau tetap dibuka sesuai kebutuhan dan pertimbangan admin.

Tips untuk Admin

  1. Jangan lupa menjadikan pemateri sebagai admin pas hari-H agar mereka dapat mengirim pesan.
  2. Jangan lupa mengingatkan pemateri untuk mengirimkan materi sebelum hari-H agar kita dapat membantu apabila ada kendala teknis.
  3. Jika diperlukan, admin bisa berkoordinasi dengan moderator untuk membuat salinan materi dan catatan diskusi yang nantinya bisa dikirimkan kepada peserta atau sekadar untuk dokumentasi kegiatan.

Tips untuk Moderator

  1. Mengelola diskusi kulwap sebaiknya dilakukan dari laptop/komputer (Whastapp Web) agar lebih mudah mencatat dan membaca pertanyaan atau komentar peserta.
  2. Moderator juga harus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemateri sebelum dan selama kulwap berlangsung. Misalnya, jika si pemateri terlalu cepat/lamban dalam menyampaikan materi, moderator bisa langsung mengingatkan.
  3. Apabila diperlukan, moderator bisa memberikan waktu sekitar 5 menit kepada peserta untuk membaca kembali materi sebelum sesi diskusi dimulai.

Tips untuk Pemateri

  1. Materi sebaiknya ditulis di dokumen (dalam format .doc misalnya) agar lebih mudah disalin dan dikirimkan paragraf per paragraf ketika sesi materi.
  2. Sebelumnya, sebaiknya mengirim materi terlebih dahulu kepada admin agar mereka dapat membantu apabila ada kendala teknis.

Tips untuk Peserta

  1. Patuhi aturan/tata cara kulwap yang sudah disampaikan oleh admin.
  2. Jangan menyela apabila pemateri/moderator sedang mengetik pesan.
  3. Sebelum bertanya, ada baiknya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu (biasanya juga ada aturan untuk menyebutkan nama, domisili, dll sebelum bertanya).
  4. Apabila merasa bingung dengan hal teknis atau ada pertanyaan sebelum grup dibuka atau sesi diskusi dimulai, sebaiknya menghubungi moderator atau admin.

Keuntungan Kulwap

  1. Kulwap merupakan salah satu jenis seminar daring yang unik. Ia relatif lebih mudah, praktis, dan tidak menghabiskan banyak kuota internet karena tidak ada panggilan video.
  2. Kulwap pada dasarnya adalah obrolan grup Whatsapp. Jadi, kalau ingin mendapatkan semua pesan teks materi, sebaiknya gabung saja terlebih dahulu. Meskipun tidak bisa mengikuti dari awal sesi, kita masih bisa membaca pesan-pesan sebelumnya bahkan setelah sesi kulwap berakhir (asal jangan keluar dan atau menghapus grup).
  3. Apabila tidak ada dokumentasi materi/diskusi dari tim admin, teman-teman bisa menggunakan fitur export chat yang ada di Whatsapp untuk menyimpan obrolan. Jadi, setelah itu teman-teman bisa keluar dan menghapus grup dengan tenang tanpa kehilangan dokumentasi materi dan menghemat memori ponsel.

Ada tambahan dari pengalaman teman-teman yang lain?
Silakan menambahkan 🙂

WISATA SEJARAH ITU GILA



“Wisata Sejarah itu gila!” tukas Asep Kambali, Pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI) saat ditemui medio April 2012 lalu. Apalagi di tengah sikap tak peduli masyarakat terhadap sejarah, anak-anak yang tidak suka sejarah, dan dihilangkannya mata pelajaran sejarah dalam kurikulum nasional di sekolah, lalu budaya nasional yang tidak diapresiasi. Jadi, bagaimana bisa mempopulerkan sejarah di tengah kondisi masyarakat yang seperti ini?
Pertanyaan itulah yang melatar belakangi terbentuknya KHI tepatnya pada 22 Maret 2003. Inilah komunitas bagi pegiat wisata sejarah dengan pendekatan kreatif dalam memperkenalkan sejarah kepada masyarakat.
Bagi Asep yang notabene lulusan Ilmu Sejarah Universitas Jakarta, secara filosofis, sejarah adalah alat untuk membangun jiwa, kesadaran, dan menumbuhkan nasionalisme. Namun ibarat pepatah, untuk menghancurkan suatu bangsa/negara, maka hancurkan ingatan (sejarah) generasi mudanya.
Keprihatinan inilah yang berkecamuk di hati Asep. Minimnya minat masyarakat terhadap museum lantaran penyajian informasi yang cenderung monoton. Kebanyakan koleksi yang dipamerkan hanya sekedar pajangan saja dengan sedikit informasi tanpa ada pemandu wisata. Faktor lain, minimnya perawatan museum, ruangan yang pengap, kumuh, bahkan menyeramkan sehingga masyarakat enggan berkunjung ke museum atau situs sejarah lainnya.
Selain itu, sistem Pendidikan Nasional yang tidak mendukung pelajaran sejarah. Pasalnya Mata Pelajaran Sejarah ditiadakan dalam Kurikulum Nasional dan diintegrasikan dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) terpadu sejak diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004 yang lalu.
Kurangnya penyampaian muatan sejarah di Sekolah tidak kreatif dan inovatif sehingga membuat pelajaran sejarah menjadi begitu membosankan. Alhasil, sejarah dianggap sepele dan tidak mau mengetahui tentang sejarah, apalagi mengapresiasi budaya.
Hal ini terbukti saat saya menjumpai Feri, Pelajar Kelas 1 SMK 28 Oktober Jakarta yang terlihat sedang mengerjakan tugas sekolah bersama empat kawannya sesama pelajar, “ini bukan tugas sejarah, tapi pelajaran Komunikasi yang menjadi bagian dari tugas travel guide. Karena di sekolah tidak ada pelajaran sejarah secara khusus.”
Faktor lain adalah banyaknya kejahatan arkeologi. Banyak koleksi museum dan situs berharga lainnya yang digondol maling. Banyak gedung bersejarah yang sengaja dihancurkan untuk dibangun pusat perbelanjaan. Contohnya adalah penghancuran Gedung Bioskop Banteng di Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung. Gedung bersejarah yang dibangun tahun 1917 ini dirobohkan tahun 2010 oleh Pemerintah Kota Pangkalpinang untuk dibangun mall. Padahal gedung ini sudah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Direktur Peninggalan Purbakala dan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata juga dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi.
“Hancurnya situs sejarah terjadi karena ulah pemerintah yang tidak mengerti sejarah. Padahal di Amerika, kalau mau jadi senator harus tes sejarah, tapi di Indonesia tidak ada tes sejarah untuk calon anggota dewan,” ungkap Asep prihatin.
Sejatinya, sejarah tak sebatas sebagai pelajaran dalam konteks pendidikan nasional namun juga sebagai potensi pariwisata. Di Italia dan negara Eropa, sebanyak 70 % sumber pendapatan devisa negara berasal dari sejarah negara tersebut. Bayangkan, Indonesia yang memiliki lebih dari 700 etnis dan berbagai macam budaya dan peninggalan sejarah, kalau semua bisa di apresiasi dengan baik tentunya potensi tersebut jauh lebih tinggi dari negara lain.
Kenyataan, perlu pendekatan khusus untuk mempopulerkan sejarah ke masyarakat, khususnya para generasi muda yang lebih menggandrungi budaya barat ketimbang budaya sendiri. Dan KHI pun memulainya di Ibukota melalui Wisata Sejarah Jakarta.
Pasalnya, sebagai kota metropolitan, Jakarta menyimpan kekayaan sejarah dan budaya di setiap sudut kota. Memiliki 64 museum dan situs sejarah sebagai potensi pariwisata namun sayangnya minim peminat. Tapi upaya mempopulerkan sejarah di Jakarta bukanlah perkara gampang, ditambah lagi banyaknya pusat perbelanjaan yang bertebaran di setiap sudut Jakarta.
Melalui konsep program rekreatif, edukatif dan menghibur, KHI berupaya membangun pola pikir masyarakat sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan membekas di hati usai belajar sejarah dan budaya. Program tersebut, diantaranya Wisata Kota Tua Jakarta, Wisata Kampung Tua, Gowes to the Museum, dll. Bahkan Wisata Malam Museum (night at the museum) dan menginap di kuburan Belanda menjadi salah satu program yang paling diminati.
Banyaknya mall di Jakarta pun menjadi bukan hambatan tapi justru menjadi lokasi yang tepat untuk sosialisasi, yaitu mengadakan pemutaran film sejarah di pusat perbelanjaan Thamrin City di Jakarta Pusat dan sebagai arena cosplay (costume play) Pahlawan Nasional. “Jadi, jangan kaget kalau nanti ke Thamrin City atau Plaza Semanggi, misalnya akan bertemu dengan Pangeran Diponegoro atau R.A Kartini yang sedang jalan-jalan sendirian,” ujar Asep tersenyum.

Kini, upaya tersebut berbuah manis dengan keanggotaan tercatat lebih dari 10.000 orang sejak 9 tahun berdiri. Kini, KHI dikenal sebagai komunitas peduli sejarah dan budaya Indonesia yang gaul dan populer, khususnya di kalangan anak muda. Dan konsep kegiatan ini pun kemudian banyak diadopsi oleh komunitas pegiat wisata sejarah lainnya.

Mengemas Masa Lalu
Kembali ke masa lalu. Itulah kesan yang terasa saat memasuki Lobi Museum Bank Mandiri. Hal ini lantaran bentuk bangunan, ornamen interior dan furnitur yang ditampilkan masih asli seperti saat dibangun pada 1929. melongok ruang demi ruang yang tampak seolah mengajak kita berimajinasi menjadi seorang nasabah, pegawai, bahkan direktur bank di masa pemerintahan kolonial Belanda.
Bangunan ini dulunya adalah kantor Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dan kini menjadi Museum Perbankan Pertama di Indonesia. Koleksi museum terdiri dari bukti otentik terkait dengan aktivitas perbankan “tempo doeloe” dan perkembangannya, mulai dari perlengkapan operasional bank, surat berharga, mata uang kuno (numismatik), hingga  brankas uang.
Lain lagi saat mengunjungi Museum Bank Indonesia (BI). Kesan kuno tak saya rasakan memasuki ruang pameran Museum BI. Penyajian informasi di masa lalu dikemas secara digital dan menjadi daya tarik tersendiri bagi keberadaan museum yang merupakan peninggalan De Javasche Bank yang dibangun periode 1828 ini.
Museum BI menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sebelum kedatangan bangsa barat di nusantara sampai berdirinya Bank Indonesia pada tahun 1953. Informasi ini disajikan dengan memanfaatkan teknologi modern dan multimedia, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama.
Museum Bank Mandiri dan Museum BI adalah dua diantara beberapa museum yang terletak di kawasan wisata Kota Tua yang menawarkan pengalaman menembus masa lalu, khususnya mempelajari sejarah dunia  perbankan di Indonesia.
“Kenyataan pemahaman definisi museum saat ini masih konservatif dan non-profit dengan harga tiket masuk yang rendah. Bagaimana mau maju?” tukas Asep.
Dia pun membandingkan konsep Museum Bank Mandiri yang masih mengandalkan upaya “kembali ke masa lalu” dengan Museum BI yang sangat futuristik sehingga mampu menjaring lebih banyak pengunjung.    Adapun dari semua museum yang ada di Jakarta, Museum Listrik dan Energi Baru adalah yang paling ramai dikunjungi. Namun museum yang berlokasi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) ini hanya mencapai 500 ribu pengunjung selama periode 2008.
Di Museum Bank Mandiri, rata-rata pengunjung per hari rata-rata hanya sekitar 100-150 orang saja, namun dibandingkan saat liburan sekolah yang mencapai 1.500 penunjung. Hal ini karena ramainya pengunjung yang melakukan studi wisata dari berbagai sekolah. Jadi bayangkan, kalau tidak ada kewajiban studi wisata tersebut, tentu museum pun kembali sepi dan suram.


Tulisan ini merupakan tugas akhir saya di Kelas Dasar Penulisan Angkatan IV @BAUTANAH Galeri Jalanan dan dipamerkan dalam Pameran Penulisan “SEJARAH UNTUK HARI INI”, 14-16 September 2012, di Tembok dan Trotoar Stasiun Cikini, Jakarta Pusat.

Cek juga liputannya di:

Me and Transformasi Hijau on RTCC Youth Profile

This article below is RTCC interview with me about my work with Transformasi Hijau.

Youth Profile #7: Why Indonesia’s Biodiversity is at the front line of the fight against climate change. 

By Tierney Smith

Original article here.

Indonesia sits on both sides of the climate change debate.

It’s a poor country at risk from extreme weather events, and yet it is also one of the world’s worst emitters of greenhouse gases. A 2007 World Bank report placed them third in emission levels behind China and the USA. This was largely down to deforestation, land degradation and forest fires.

The government is taking action – at least on paper. They have climate targets aimed at cutting emissions by 41%, stemming deforestation. Increased renewable energy capacity, incentives for the low-carbon economy and a pledge to cut poverty levels by 50% are all key tools.

But it’s a difficult road to tread. In a country with the second largest forest cover worldwide and where 110 million people still live on less than $2 a day, the temptation to create more farmland by felling trees is acute.

Many forest fires are started by local communities with the aim of providing space for crops and animals. So a major part of the challenge lies in confronting these attitudes and behaviour.

In the country’s capital city, Jakarta, a growing movement of youth aim to improve environmental education and transform the city to one with green space and biodiversity at its heart.

As part of RTCC’s student profiles I spoke to Putri Ayusha from Transformasi Hijau about the work young people are doing to encourage change in the city.

What is your group doing and what areas of work do you focus on?

My group is called Transformasi Hijau or trashi for short – in English you can call it Green Transformation.
Trashi is a volunteer based community that is focused on urban environmental education. Some of our concerns are about green open space, green transformation and biodiversity in our city Jakarta.

Our activities aim to engage and encourage young people to know more about biodiversity explore our green space and then conserve the remaining biodiversity in Jakarta. We have several activities, such as bird watching, clean up activities, recycling workshops and creative campaigning using social media and the Internet.

The main target of our activities is young people. In Jakarta young people are almost 30% of the population and if this number can work together as active agents for our environment we believe we can tackle the issues affecting us and our environment at large.
In addition we also promote youth education about Indonesian biodiversity as a whole from upstream, to downstream, from forests ecosystems to urban ecosystem, and costal and island ecosystems. This is one of our larger objectives.

What results have you seen from your work so far?

Since we were established in 2010 we have conducted numerous environmental activities and campaigns. We have promoted green lifestyles and stressed the importance of green open spaces to more than 1000 people in Jakarta and in Indonesia at large, both through online and offline campaigns.

As a voluntary based community and working in an urban area it was really great to see a response and the involvement from our public society. For example, our clean up activities – our trash buster activities. We have done around three or four of them since 2010, at the remaining mangrove forest in north Jakarta and every clean up has been even more popular.

This group is expected to guide young people – especially in Jakarta where it includes students and communities – to explore and complete learning activities in Mangrove forests. We have a guide book that was created by a young transformer as the result of their own activities exploring Jakarta’s green open spaces, particularly mangrove forests through bird watching activities, observation and also explorative learning.

We have also developed networks and partnerships with many existing community and youth groups as well as with donor agencies and the private sector, because we realized these two things – networking and partnership – were important to develop in order to reach our big goals together.

What are the challenges you have faced in your work?

Working in urban areas with its high heterogeneity (its high diversity of people) has already been a challenge for us. Promoting environmental issues to urban people needs creative and unique ways that can be accepted by them easily. We follow communication trends in our campaigns and have developed a social media campaigns strategy to attract these people so that they can join with our communities.

Since the introduction of the Internet and social media – for example facebook and Twitter – in Indonesia, the user-ship of the Internet in Indonesia is the biggest in the world and most of our Internet users are young people.
Working with young people is also challenging. Some of our volunteers are students therefore we have to adjust our activities to fit with their tight academic schedules and school support and permits can be difficult to get. Although education councils have endorsed some of our groups some schools don’t permit and allow their students to join our environmental activities out of their school schedule and curriculum.

Becoming part of the process and the decision making with government is also one of our dreams. At this time we contribute indirectly by supporting other communities that have the same concerns and are working in this way.

What support have you seen for your activities?

A wide range of the public, civil society, governments, NGOs and other communities are always important to reach in addition to funding support. Our prior funding was supported by the Global Environment Facility and also from Indonesian Biodiversity Foundation and other private sector.

The mass media always support us by providing space to disseminate our environmental message to the public.

What are the impacts you are seeing in your country from climate change?

Indonesia is the most biodiverse country second to Brazil and yet deforestation, land degradation and forests fires have put Indonesia in the top three largest emitters of greenhouse gases in the world.
At the same time Indonesia stands to experience significant losses because of climate change because we are an archipelagos Indonesia is very vulnerable to the impacts of climate change. Increased dryness, extreme weather, changing and heavy rainfall leading to big floods are a few examples of the impacts of climate change.

Indonesia’s biodiversity is also at risk. This may lead to harmful effects on agriculture, fisheries and forestry resulting in threats to food security and livelihoods.

In the agriculture systems – for example the rice fields in Java – the harvests have become irregular. Normally the harvests come two or three times a year but it depends on the weather. Now it has become unpredictable. Heavy rains have washed away many crops and caused major flooding. And in Jakarta itself many communities particularly in north of Jakarta, are hit by the floods due to the rising of sea levels.

I think the impacts of climate change seem like a never-ending story. We cannot stop climate change it is already happening but we can reduce the impact of climate change.

What would be your vision for 2050? What do you think needs to happen to get us there?

Some researchers say that it is estimated that in 2050 the north Jakarta will disappear – up to around 160 km of land or the equivalent of 24.3% of Jakarta. We don’t really want this to happen – no one does. So we work together with other communities to raise awareness, mobilize public support and get information and take action together.

For our city Jakarta, one of our big dreams is a dream of more open space in Jakarta and also in other big cities in Indonesia. We want to see 30% of land as open space. In the current condition it is less than 10% open space. We want it so everyone can feel the fresh air and can use the green open space to interact with others and do outdoor activities like sport, environmental education and other activities.

Globally I would want to see collaboration and partnerships amongst youth communities, public society, government, private sector and mass media that would be developing rapidly for environmental sustainability. Then we can live in harmony with nature.

What would help your group move forward in your work?

I think collaboration with multi-stakeholders, public society, youth communities and NGOs will enable us to carry out and develop our activities. Now we are going to work on our bird conservation project with existing youth groups in Jakarta.

And also entrepreneurial thinking. Entrepreneurialism needs to be built as well to provide self-funding for our communities sustainability and currently we are building our capacity.

Why did you get involved in the group? What do you think is the role of the youth in the climate/environmental agenda?

I came to Jakarta in 2008 and I saw Jakarta hit by a huge flood, and huge amounts of waste right after the flood faded away and it irritated me when I saw the waste problem at our last mangrove forest of Jakarta.

Then I volunteered and worked with other volunteer communities to do something to reduce the environmental destruction as well as to raise awareness and promote a green lifestyle. Now I am focusing myself on environmental education with my special interest in youth leadership. I have been working with youth in many youth led activities and encouraging them to engage with the environment and take action.

Internationally I have been involved in the Earth Charter initiative since 2009 and I realized that we are not working alone and that there are so many existing youth groups worldwide that also take action for environmental sustainability and I am very happy to work with them. We have to collaborate to make a huge impact for our environment.

Youth are very crucial for working on climate and the environmental movement.

Botol Plastik: Remukkan atau…

Baru-baru ini dua vendor besar air minum kemasan (botol plastik) mengeluarkan iklan terbaru yang isinya mengajak konsumen untuk meremukkan botol plastik sebelum dibuang setelah airnya habis diminum. Selain untuk menyediakan lebih banyak ruang di dalam tempat sampah, hal ini juga semakin menguatkan bahwa botol plastik air minum kemasan memang dirancang untuk sekali pakai dan tidak direkomendasikan untuk dipakai berulang kali.

Saat ini memang orang lebih banyak beralih ke air minum kemasan dengan alasan mudah dan praktis. Tidak banyak yang masih (dan sudah) terbiasa untuk membawa botol minum isi ulang (tumbler) sendiri dari rumah. Jika kebiasaan tidak berubah maka bisa dibayangkan berapa jumlah sampah botol plastik yang kita hasilkan setiap hari. Belum lagi konsumsi minyak bumi dalam jumlah besar yang diperlukan untuk memproduksi si botol plastik ini.

Bicara soal tumbler, harus Saya akui sampai saat ini saya(masih) belum berhasil membiasakan diri untuk membawa tumbler (botol minum) kemanapun saya pergi. Beberapa kali saya coba, namun beberapa kali juga tidak berlanjut. Beberapa kali saya beli (atau dibelikan) tumbler pasti deh kemudian pindah tangan. Baik itu diminta keponakan, ketinggalan, dan yang paling buruk adalah hilang, hiks.

Namun bukan berarti usaha untuk mengurangi pemakaian botol plastik kemasan sekali pakai berhenti. Kebiasaan saya untuk membeli minuman kemasan botol sudah agak berkurang jika dibandingkan beberapa waktu lalu. Dulu setiap kali mau pergi jalan/ke kantor pasti beli minum botol kemasan. Sekarang, kalau haus ditengah jalan, (kalau tidak bawa tumbler) saya lebih memilih untuk minum ditempat atau beli yang berkemasan lain, seperti UHT.

Kebiasaan membawa tumbler dari rumah untuk mengurangi sampah botol plastik bisa dibangun dari sekarang, belum terlambat. Tapi bagaimana dengan nasib jutaan botol plastik yang sudah terlanjur terbuang? Butuh ratusan tahun untuk terurai secara alami dan selama itu pula akan mencemari lingkungan ini.

Tapi beberapa jenis botol plastik mungkin akan dikumpulkan oleh para pemulung untuk dijual ke pengepul/lapak dan selanjutnya akan dijual ke pabrik untuk didaur ulang. Ide untuk kreasi daur ulang botol plastik pun sudah banyak berkembang di masyarakat.

Ide yang menurut saya paling keren adalah membangun rumah dari botol plastik (seperti foto dibawah ini). Kalau rumahnya terbuat dari botol plastik seperti ini pasti kuat dan awet sampai ratusan atau bahkan ribuan tahun secara terurainya lama banget.. hehe.

Membangun rumah dari botol plastik di suatu tempat di Nigeria

Ide-ide kreatif untuk mendaur ulang botol plastik memang sudah berkembang, namun bukan berarti kita lantas berpikir untuk tidak perlu khawatir menggunakan botol plastik karena toh sampahnya bisa dipakai lagi, dijadikan rumah, pot, dll.

Kalau menurut konsep 3R (reduce, reuse, recycle), mungkin slogan yang paling tepat untuk botol plastik adalah: “Reduce, Reduce, Reduce, Recycle, but not Reuse it..!!” hmm, ada pendapat lain?

The Next Generation of Teachers Start to Use The Earth Charter



With their slogan “Creating a new generations of teachers”, Sampoerna School of Education (SSE) offers future teacher candidates unique opportunities to be qualified teacher with extended education, practical works and research.

One of the courses that run on this semester is Environmental Education. “It’s important to discuss environmental issue with students at SSE, because these students are soon to become educators,” said Mrs. Stien Matakupan, the lecture for Environmental Education course at SSE. In addition to nurture students to become environmental educators, this course aims to encourage students to be able to analyze the problems of the world from the point of economic, social and environmental as well as perform activities to address the current challenges on the earth.

Realizing this opportunity, she would like to bring the Earth Charter up as a topic on her public lecture session. To make this happened, she gave me the opportunity to organize and facilitate the Earth Charter Workshop for her students. Mrs. Matakupan is also part of Earth Charter Initiatives in Indonesia, she also had the honorable opprtunity to attend EC+10 event in India, November 2010.


The Earth Charter Workshop held on January 7, 2012 with more than 25 participants (include 2 participants from Teens Go Green). The workshop aimed to:
  1. Promote the Earth Charter so the students can understand about its vision and how Indonesia’s role in the Earth Charter history.
  2. Identify the relationship between green teacher project activities undertaken by the students based on vision of the Earth Charter.
  3. Promote about Earth Charter Initiatives in Indonesia and encourage them to take action inspired by the Earth Charter

The workshop was opened with the question, “what are the current challenges to life on earth?” Starting from pollution, waste, population growth, poverty, environmental degradation, climate change, until traffic jam problem in Jakarta. The discussion then moved into the different concept between conventional developmet and sustainable development. The Earth Charter was born to help promote the sustainable development. It’s needed ‘to promote the transition to sustainable ways of living and a global society founded on a shared ethical framework’ as mentioned in mission of the Earth Charter Initiatives.


Having introduced to the four of main principles of The Earth Charter, participants then were grouped into 10 based on the Green Teacher Project team that formed prior to the workshop.


By the key question, “what are your activities/projects that reflect to each EC main principles?” participants were asked to discuss and write it down onto flipchart paper. Following the working group session, the open space session then provided participants with the opportunity to read others’ papers, ask questions, and comment.


Personally, I have been amazed by their activities either the existing projects or their projects plan. Some of their activities are Green Teacher Project, Coral Reef and Tree Planting, Recycling Project, Mangrove Project, Healthy Food Campaign, Anti-Styrofoam Campaign, until Reflection on Students Attitudes based on the Earth Charter values. Although they were confused at first, the session was going well as participants finally found the linkage among the Earth Charter principles.

The next topic was more about Earth Charter Youth Network and Earth Charter activities in Indonesia. I introduced Earth Charter Iniatives and there is a youth network that involves active young people from over 100 countries within this initiative, include Indonesia. Earth Charter activities in Indonesia mostly run by volunteers and Earth Charter Youth Group. The activity that happening now is Indonesia Rio+20 Global Youth Music Contest organized by young volunteers from all over the Indonesia.

Furthermore, I also brought up my own story and experience with the Earth Charter. It’s how and why I’m involved with the Earth Charter, how the Earth Charter inspires me, and how I initiated the first ECYG in Indonesia.

At the end, participants gave their testimony about their experience on this workshop and their hope about Earth Charter.

By the end of January, the participants will organize an exhibition to show off their projects.



TESTIMONIALS

Top of Form
Hopefully there will be more people aware and implement the principles of the Earth Charter.

Earth Charter could be the basic reference if we’d like to apply the values in our life. SSE Green Teacher is a new organization, so the member
s haven’t got the experience yet in joining something like this. We hope that Earth Charter and SSE Green Teacher could have better cooperation. Thank you. 🙂

Inspirational. Cool. The Earth Charter principles can be a guideline in making an activity. Earth Charter is not only a document but guide to make people aware to the environment.

Today was gone so fast because the activities are so much fun. The Earth Charter has raised my awareness to care about the mother earth. Many ideas came from the presentation to make the better world.

Want to join Earth Charter activities.

I hope that the activities/projects that I´m gonna do could help raising public awareness (especially students), so they would love the environment in accordance to the Earth Charter 🙂

Honestly, I´m really excited to join with the community and be a part of the Earth Charter. Together we will be taking good care of the earth for our life. I and my community will be promoting the Earth Charter to the public and doing inspired activities. Hopefully we can keep these programs on going to be implemented. Together we can!

My hope: (1) I will encourage my community to join the Earth Charter community (2) Inspiring more people by creating activities inspired by the Earth Charter principles (3) The activities that have been implemented by me with my friends in Jepara, can inspire many people.

Hopefully the Earth Charter and Education activities would inspire more people to take action to save the environment.

INCREDIBLE! Very inspiring! It´s much better to learn Earth Charter directly from the speaker. Actually, I am interested in Putri´s experiences on working with Earth Charter with many young fellows from
all over the world. Hopefully in the future, environmental youth organizations will be growth and developed rapidly!


I want to join the Earth Charter. I’m sure there will be more people inspired if we keep campaigning to save the environment, reduce pollution, and promote the Earth Charter consistently.

Interesting. Inspiring. Fun. Meaningful. Hopefully the Earth Charter Youth will
be improvedmore and more and succeed as well. Honestly, I was inspired to do many environmental activities with my friends and with Junior and High School students. I am also interested in being more committed to protecting the earth.



(Putri Ayusha)


Also posted in:
http://earthcharterblog.wordpress.com/2012/01/17/the-next-generation-of-teachers-start-to-use-the-earth-charter/#more-122

Kaum Muda, Kaum Perubahan

12. b. Menghormati dan mendukung generasi muda dalam masyarakat kita, membuat mereka mampu memainkan peran penting mereka dalam menciptakan masyarakat yang berkelanjutan. -Piagam Bumi-


Hari ini, 12 Augustus merupakan Hari Pemuda Internasional dengan tema tahun ini adalah “Change Our World”. Hari Pemuda merupakan suatu hari yang diperingati untuk menarik perhatian pada isu-isu kaum muda di seluruh dunia. Dimulai pada tahun 2000, Hari Pemuda Internasional dirayakan pada tanggal 12 Agustus setiap tahun.


12 Agustus tahun ini juga menandakan berakhirnya Tahun Pemuda Internasional yang telah berlangsung satu tahun yang lalu sejak 12 Agustus 2010. Tahun Pemuda Internasional 2010-2011 ini merupakan yang ke-25 sejak Tahun Pemuda Internasional yang pertama pada tahun 1985. (Wah, ternyata seumuran dengan aku.. :D)

Tema Hari Pemuda Internasional tahun ini adalah “Change Our World” yang merupakan suatu panggilan untuk menginspirasi inisiatif pemuda di semua tingkatan dengan gagasan bahwa upaya-upaya di tingkat lokal dapat memiliki dampak global.

Yup, kita sebagai pemuda memang seharusnya memiliki ide-ide yang sanggup membuat suatu perubahan. Bahkan sudah sering didengungkan kalau “pemuda adalah agen perubahan” karena pemuda memegang peranan yang sangat penting.

PEMUDA, BUKAN MANUSIA BIASA
Percaya atau tidak, kita semua adalah sebuah kekuatan. Dari zaman baheula sampai sekarang, yang namanya anak muda itu memiliki potensi kekuatan yang luar biasa. Dunia dan perubahannya dibentuk oleh pemikiran dan semangat yang menggebu-gebu dari anak-anak muda seperti kita, termasuk juga tren dan perubahan dahsyat yang sekarang melanda planet ini.

Coba kita tengok sebentar sejarah bangsa kita Indonesia, peran pemuda begitu dominan dalam melakukan perubahan di negeri ini. Dimulai dari kebangkitan nasional yang menandakan mulai tumbuhnya rasa nasionalisme, sumpah pemuda yang menjadi cikal bakal persatuan Indonesia, kemerdekaan Republik Indonesia, tumbangnya orde lama, lahir dan tumbangnya orde baru hingga lahirnya orde reformasi. Semua terjadi karena peran pemuda yang sangat tinggi dan berpengaruh pada saat itu.

Nah, sekarang coba deh kita amati masa sekarang ini. Siapa sih yang tidak tahu yang namanya Facebook? Situs pertemanan fenomenal yang mengguncang peradaban manusia dan menciptakan era komunikasi baru yang nggak pernah dibayangkan sebelumnya? Tahu kan siapa yang menciptakannya? Ya, Mark Zuckerberg, seorang anak muda berusia 24 tahun. Atau siapa yang menciptakan Google? Search engine terbesar yang menjadi rujukan kamu semua setiap kali mau mencari informasi di internet. Google diciptakan oleh Sergey Brin dan Larry Page ketika mereka berusia 25 tahun.

Kekuatan dan potensi yang ada didalam diri anak muda seperti kita menjadikan kita sebagai Generasi Spesial yang menjadi perhatian dan sasaran banyak orang. Namun banyak anak muda yang tidak sadar akan hal itu. Lihat saja iklan yang tiap hari muncul di TV, hampir semua isinya menjadikan kita sebagai target untuk membeli produk mereka. Mulai dari produk komestik, fashion, makanan, handphone, dll.

Ya, Kita diperebutkan! Bahkan ada prinsip yang mengatakan bahwa, “Siapa yang mampu menguasai anak muda dan menggerakkan meraka, ia akan menguasai dunia”. Bung Karno pun pernah berkata, “Berikan padaku sepuluh orang pemuda, akan aku guncang dunia”. Hal ini berarti bahwa pemuda identik dengan orang yang enerjik dan cerdas, sehingga pemuda bukanlah generasi yang biasa.

TAHUKAH KAMU BERAPA BANYAK JUMLAH PEMUDA DI DUNIA?
Sebanyak 1,8 milyar populasi di dunia adalah pemuda atau setengah dari populasi manusia di dunia adalah pemuda berusia di bawah 25 tahun. Sementara itu jumlah populasi remaja berusia 10-19 tahun di dunia mencapai angka lebih dari 1,3 milyar dan 85% diantaranya hidup di negara berkembang.

Di Indonesia, berdasarkan data Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2005-2025 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pemuda berumur 15-35 tahun pada tahun 2009 adalah sebanyak 62,77 juta jiwa sedangkan pada tahun 2011 meningkat menjadi 62,92 juta jiwa atau sekitar 31,46% dari total penduduk Indonesia. Angka-angka ini bisa menjadi sebuah potensi atau bahkan malah menjadi masalah bergantung bagaimana cara kita menyikapinya.

Sekali lagi.. Anak muda seperti kita memiliki kekuatan dan potensi yang besar. Coba bayangkan apabila pemuda di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 30% dari jumlah total penduduk Indonesia bisa memanfaatkan potensi dan kreativitasnya dengan baik, pastilah akan tercipta suatu perubahan yang sangat besar dan positif. Namun sebaliknya, apabila pemuda di Indonesia bersikap malas-malasan dan tidak produktif maka TIDAK AKAN tercipta suatu perubahan positif.

Hal ini sudah dibuktikan dengan data dari BPS tahun 2011 yang menyatakan bahwa sebanyak 60,5% pemuda usia 16 tahun hingga 20 tahun di seluruh provinsi di Indonesia tidak memiliki pekerjaan tetap, atau pengangguran. Jika tak segera dilakukan langkah-langkah tepat, angka pengangguran ini akan terus meningkat dan akan menjadi sumber persoalan sosial di masyarakat. Tuh, miris banget kan?

Sebagai anak muda, tentunya kita nggak mau kan melihat generasi kita tumbang satu persatu hanya karena nggak tahu kalau sebenarnya hidup mereka penuh potensi untuk menjadi seseorang yang luar biasa yang mampu membawa perubahan hidup yang besar baik bagi dirinya maupun masyarakat sekitar.


Jadi tunggu apa lagi.. Jadilah muda dan buatlah perubahan!
(Putri Ayusha)

“If you think you’re too small to make a difference, you have never been in bed with a mosquito!”– Anita Roddick, founder of The Body Shop –

(Dari berbagai sumber)