WISATA SEJARAH ITU GILA



“Wisata Sejarah itu gila!” tukas Asep Kambali, Pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI) saat ditemui medio April 2012 lalu. Apalagi di tengah sikap tak peduli masyarakat terhadap sejarah, anak-anak yang tidak suka sejarah, dan dihilangkannya mata pelajaran sejarah dalam kurikulum nasional di sekolah, lalu budaya nasional yang tidak diapresiasi. Jadi, bagaimana bisa mempopulerkan sejarah di tengah kondisi masyarakat yang seperti ini?
Pertanyaan itulah yang melatar belakangi terbentuknya KHI tepatnya pada 22 Maret 2003. Inilah komunitas bagi pegiat wisata sejarah dengan pendekatan kreatif dalam memperkenalkan sejarah kepada masyarakat.
Bagi Asep yang notabene lulusan Ilmu Sejarah Universitas Jakarta, secara filosofis, sejarah adalah alat untuk membangun jiwa, kesadaran, dan menumbuhkan nasionalisme. Namun ibarat pepatah, untuk menghancurkan suatu bangsa/negara, maka hancurkan ingatan (sejarah) generasi mudanya.
Keprihatinan inilah yang berkecamuk di hati Asep. Minimnya minat masyarakat terhadap museum lantaran penyajian informasi yang cenderung monoton. Kebanyakan koleksi yang dipamerkan hanya sekedar pajangan saja dengan sedikit informasi tanpa ada pemandu wisata. Faktor lain, minimnya perawatan museum, ruangan yang pengap, kumuh, bahkan menyeramkan sehingga masyarakat enggan berkunjung ke museum atau situs sejarah lainnya.
Selain itu, sistem Pendidikan Nasional yang tidak mendukung pelajaran sejarah. Pasalnya Mata Pelajaran Sejarah ditiadakan dalam Kurikulum Nasional dan diintegrasikan dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) terpadu sejak diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004 yang lalu.
Kurangnya penyampaian muatan sejarah di Sekolah tidak kreatif dan inovatif sehingga membuat pelajaran sejarah menjadi begitu membosankan. Alhasil, sejarah dianggap sepele dan tidak mau mengetahui tentang sejarah, apalagi mengapresiasi budaya.
Hal ini terbukti saat saya menjumpai Feri, Pelajar Kelas 1 SMK 28 Oktober Jakarta yang terlihat sedang mengerjakan tugas sekolah bersama empat kawannya sesama pelajar, “ini bukan tugas sejarah, tapi pelajaran Komunikasi yang menjadi bagian dari tugas travel guide. Karena di sekolah tidak ada pelajaran sejarah secara khusus.”
Faktor lain adalah banyaknya kejahatan arkeologi. Banyak koleksi museum dan situs berharga lainnya yang digondol maling. Banyak gedung bersejarah yang sengaja dihancurkan untuk dibangun pusat perbelanjaan. Contohnya adalah penghancuran Gedung Bioskop Banteng di Kota Pangkalpinang, Bangka Belitung. Gedung bersejarah yang dibangun tahun 1917 ini dirobohkan tahun 2010 oleh Pemerintah Kota Pangkalpinang untuk dibangun mall. Padahal gedung ini sudah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Direktur Peninggalan Purbakala dan Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata juga dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi.
“Hancurnya situs sejarah terjadi karena ulah pemerintah yang tidak mengerti sejarah. Padahal di Amerika, kalau mau jadi senator harus tes sejarah, tapi di Indonesia tidak ada tes sejarah untuk calon anggota dewan,” ungkap Asep prihatin.
Sejatinya, sejarah tak sebatas sebagai pelajaran dalam konteks pendidikan nasional namun juga sebagai potensi pariwisata. Di Italia dan negara Eropa, sebanyak 70 % sumber pendapatan devisa negara berasal dari sejarah negara tersebut. Bayangkan, Indonesia yang memiliki lebih dari 700 etnis dan berbagai macam budaya dan peninggalan sejarah, kalau semua bisa di apresiasi dengan baik tentunya potensi tersebut jauh lebih tinggi dari negara lain.
Kenyataan, perlu pendekatan khusus untuk mempopulerkan sejarah ke masyarakat, khususnya para generasi muda yang lebih menggandrungi budaya barat ketimbang budaya sendiri. Dan KHI pun memulainya di Ibukota melalui Wisata Sejarah Jakarta.
Pasalnya, sebagai kota metropolitan, Jakarta menyimpan kekayaan sejarah dan budaya di setiap sudut kota. Memiliki 64 museum dan situs sejarah sebagai potensi pariwisata namun sayangnya minim peminat. Tapi upaya mempopulerkan sejarah di Jakarta bukanlah perkara gampang, ditambah lagi banyaknya pusat perbelanjaan yang bertebaran di setiap sudut Jakarta.
Melalui konsep program rekreatif, edukatif dan menghibur, KHI berupaya membangun pola pikir masyarakat sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan membekas di hati usai belajar sejarah dan budaya. Program tersebut, diantaranya Wisata Kota Tua Jakarta, Wisata Kampung Tua, Gowes to the Museum, dll. Bahkan Wisata Malam Museum (night at the museum) dan menginap di kuburan Belanda menjadi salah satu program yang paling diminati.
Banyaknya mall di Jakarta pun menjadi bukan hambatan tapi justru menjadi lokasi yang tepat untuk sosialisasi, yaitu mengadakan pemutaran film sejarah di pusat perbelanjaan Thamrin City di Jakarta Pusat dan sebagai arena cosplay (costume play) Pahlawan Nasional. “Jadi, jangan kaget kalau nanti ke Thamrin City atau Plaza Semanggi, misalnya akan bertemu dengan Pangeran Diponegoro atau R.A Kartini yang sedang jalan-jalan sendirian,” ujar Asep tersenyum.

Kini, upaya tersebut berbuah manis dengan keanggotaan tercatat lebih dari 10.000 orang sejak 9 tahun berdiri. Kini, KHI dikenal sebagai komunitas peduli sejarah dan budaya Indonesia yang gaul dan populer, khususnya di kalangan anak muda. Dan konsep kegiatan ini pun kemudian banyak diadopsi oleh komunitas pegiat wisata sejarah lainnya.

Mengemas Masa Lalu
Kembali ke masa lalu. Itulah kesan yang terasa saat memasuki Lobi Museum Bank Mandiri. Hal ini lantaran bentuk bangunan, ornamen interior dan furnitur yang ditampilkan masih asli seperti saat dibangun pada 1929. melongok ruang demi ruang yang tampak seolah mengajak kita berimajinasi menjadi seorang nasabah, pegawai, bahkan direktur bank di masa pemerintahan kolonial Belanda.
Bangunan ini dulunya adalah kantor Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dan kini menjadi Museum Perbankan Pertama di Indonesia. Koleksi museum terdiri dari bukti otentik terkait dengan aktivitas perbankan “tempo doeloe” dan perkembangannya, mulai dari perlengkapan operasional bank, surat berharga, mata uang kuno (numismatik), hingga  brankas uang.
Lain lagi saat mengunjungi Museum Bank Indonesia (BI). Kesan kuno tak saya rasakan memasuki ruang pameran Museum BI. Penyajian informasi di masa lalu dikemas secara digital dan menjadi daya tarik tersendiri bagi keberadaan museum yang merupakan peninggalan De Javasche Bank yang dibangun periode 1828 ini.
Museum BI menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sebelum kedatangan bangsa barat di nusantara sampai berdirinya Bank Indonesia pada tahun 1953. Informasi ini disajikan dengan memanfaatkan teknologi modern dan multimedia, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama.
Museum Bank Mandiri dan Museum BI adalah dua diantara beberapa museum yang terletak di kawasan wisata Kota Tua yang menawarkan pengalaman menembus masa lalu, khususnya mempelajari sejarah dunia  perbankan di Indonesia.
“Kenyataan pemahaman definisi museum saat ini masih konservatif dan non-profit dengan harga tiket masuk yang rendah. Bagaimana mau maju?” tukas Asep.
Dia pun membandingkan konsep Museum Bank Mandiri yang masih mengandalkan upaya “kembali ke masa lalu” dengan Museum BI yang sangat futuristik sehingga mampu menjaring lebih banyak pengunjung.    Adapun dari semua museum yang ada di Jakarta, Museum Listrik dan Energi Baru adalah yang paling ramai dikunjungi. Namun museum yang berlokasi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) ini hanya mencapai 500 ribu pengunjung selama periode 2008.
Di Museum Bank Mandiri, rata-rata pengunjung per hari rata-rata hanya sekitar 100-150 orang saja, namun dibandingkan saat liburan sekolah yang mencapai 1.500 penunjung. Hal ini karena ramainya pengunjung yang melakukan studi wisata dari berbagai sekolah. Jadi bayangkan, kalau tidak ada kewajiban studi wisata tersebut, tentu museum pun kembali sepi dan suram.


Tulisan ini merupakan tugas akhir saya di Kelas Dasar Penulisan Angkatan IV @BAUTANAH Galeri Jalanan dan dipamerkan dalam Pameran Penulisan “SEJARAH UNTUK HARI INI”, 14-16 September 2012, di Tembok dan Trotoar Stasiun Cikini, Jakarta Pusat.

Cek juga liputannya di:

One thought on “WISATA SEJARAH ITU GILA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.