Perbedaan Verba Saber dan Poder dalam bahasa Spanyol

Suatu hari di taksi, sambil melihat sebuah papan iklan komestik di pinggir jalan, suamiku berkomentar:

¿Sus pestañas son reales?” (Itu bulu matanya beneran?) tanyanya sambil menunjuk ke arah model yang ada di papan iklan.
No. Creo que son extensiones,” (Nggak. Kayaknya itu bulu mata palsu) jawabku singkat tanpa pikir panjang.
Y yo, no puedo maquillarme mis ojos así,” (Aku sendiri sih nggak bisa dandan/pasang bulu mata kayak begitu) tambahku.
¿No puedes? Por qué? No tienes ojos?” (Nggak bisa??? Kenapa??? Kamu nggak punya mata???) tanyanya bingung.

Mendengar jawabannya, aku jadi ikut bingung.

Aku masih ingat percakapan kami ini. Dia bingung karena aku jawabnya “no puedo” (“puedo” dari verba poder) dan seharusnya aku jawab “no sé” (dari verba saber).

Sebenarnya kalau kita ingin berkata “bisa” dalam bahasa Spanyol, kita dapat menggunakan dua verba tersebut, tetapi “bisa” yang dimaksud dua verba ini berbeda konteks maknanya.

Poder berarti “bisa” dalam konteks sanggup atau mampu secara fisik/psikologis tanpa adanya hambatan atau suatu hal yang menghalangi. Poder juga berarti “boleh”. Saber berarti “bisa” dalam konteks tahu bagaimana caranya melakukan sesuatu.

Contoh:

“Kamu bisa berenang?”
“Ya, bisa dong.”
“Tapi kamu tidak bisa (tidak boleh) berenang di sini.”
“Lho, kenapa?”
“Karena berenang di sini dilarang.”

“¿Sabes nadar?” — (verba Saber)
“Sí, claro.”
“Pero no puedes nadar aquí.” — (verba Poder)
“¿Por qué?
“Aquí está prohibido.”

From https://www.thepunctuationguide.com/em-dash.html
© 2020 thepunctuationguide.com

From https://www.thepunctuationguide.com/em-dash.html
© 2020 thepunctuationguide.co

Jadi pada percakapan pertama kami di atas, mas suami tentu saja bingung waktu aku bilang “no puedo maquillarme mis ojos …” karena yang ada di pikiran dia: aku tidak bisa karena ada hal atau hambatan yang membuatku tidak bisa dandan. Tidak punya mata contoh ekstremnya.

Whatsapp Group

Orang-orang di grup Whatsapp itu ….

Ada yang suka kirim hoax (berita bohong) atau pesan berantai dengan embel-embel “Viralkan …”
Ada yang suka kirim meme doank.
Ada yang suka jawab “… googling aja” kalau ditanya.
Ada yang suka ngetik satu pesan, tapi panjaaaaaaaaaaaaang.
Ada yang suka ngetik pesan panjang, tapi setiap satu kalimat/kata di-enter.
Ada yang suka saltik.
Ada yang suka nyasar, alias salah kamar.
Ada yang suka nulis pakai emotikon.
Ada yang suka kirim stiker aneh-aneh (aku nggak tahu mereka itu dapat dari mana, ya?).
Ada yang suka kirim swafoto (foto selfie).
Ada yang suka kirim foto makanan.
Ada yang suka kirim pranala (link) situs web.
Ada yang jarang nongol, kalaupun nongol cuma jempolnya aja.
Ada yang jarang nongol, begitu nongol yang ditanyain malah “Group ini masih hidup?” (berarti semua anggota grupnya jarang nongol, hehehe).
Ada yang suka typing … tapi nggak pernah terkirim pesannya.
Ada yang suka kirim pesan suara.
Ada yang suka nanya soal yang sama tanpa gulir ke atas (scroll up) dulu.
Ada yang suka ngajak ketemuan … karena dari tahun lalu belum kesampaian
Ada yang suka nanya DLT (Di Luar Topik) di tengah-tengah diskusi seru.
Ada yang suka ngobrol berdua (1 on 1) di grup … dan panjang.
Ada yang suka ngambek (left group), tapi japri ke admin minta dimasukkin lagi.

Apa lagi, ya?

Ngopi

Aku dan kamu, suatu hari ….

Setelah makan siang, kita ngobrol sambil tiduran di sofa.

Kamu: Jadi mau nonton film apa baca buku?

Aku: Nonton dulu, habis gitu kita ngopi dan ngeteh di luar.

Kamu: Aku gak pengen nonton sebenernya. Pengen baca buku.

Aku: Ya udah, kita ngopi di luar sambil baca buku.

Kamu: Kita keluar ngopi aja terus pulang baca buku.

Aku: Ya udah ngopi di rumah aja sambil baca buku.

Kamu: Kan pengennya jalan-jalan.

Aku: Gimana sih, terserah ah.

Kamu: Ya udah terserah kamu aja.

Aku: Ih, kok.

Kamu: ….gu68;’……@#$%

Aku: ……….^&(>?…………….

—(hening)—

Aku dan kamu: zzzzzzzzzzz.. akhirnya ketiduran di sofa dan kita ngopi di dalam mimpi.

-sekian-

Kata-kata dalam bahasa Spanyol yang sering tertukar karena mirip

Dulu saya sering menertawakan salah seorang teman saya dari Jepang yang selalu salah dan tertukar mengucapkan “kambing” dan “kembar”. Saya pun jadi heran, “Ah, masak sih nggak bisa bedain kambing dan kembar, kan cara ngucapinnya aja beda banget.” Dan saya lupa kalau karma itu nyata adanya.

Selama tinggal di sini, saya juga menemui banyak sekali kata-kata dalam bahasa Spanyol yang (bagi saya pribadi) suka bikin keseleo lidah karena kata-kata tersebut mirip baik penulisan atau pengucapannya, seperti kasus teman saya tadi dengan “Kambing dan Kembar”nya.

Di bawah ini adalah contoh beberapa di antaranya:

Granjero – Cangrejo
Dua kata ini adalah pasangan pertama yang paling sering membuat saya bingung. Mana yang artinya kepiting, mana yang artinya petani. Ditambah lagi kalau mau ngomong dua kata itu, lidah saya suka keselo dan terbelit-belit. Trik dari suami: kalau mau ngomong petani, saya harus ingat Granja, yang artinya lahan perkebunan, pertanian, atau peternakan. Jadi, petani itu Granjero. Terus kalau petani/peternak kepiting, jadinya “Granjero de Cangrejo“, duh, sampai keselek ngomongnya.

Guantes – Guisantes
Suatu hari di musim dingin, saya dan Bruno (teman kuliah saya) ngobrol di jalan.

Saya    : “Uy, que frió! Quiero comprar guisantes mañana.” (Duh, dingin banget yak. Pengen beli kacang polong ah besok). Maunya sih bilang sarung tangan, GUANTES, eh tapi saya malah bilang GUISANTES.
Bruno  : “Ah sí, te gustan los guisantes? ¿Cómo sueles cocinarlos?” (Oh ya, kamu suka kacang polong? Biasanya kamu masak apa?).
Saya    : Bingung, diam sejenak.. mencerna.. mikir.. dan akhirnya sadar..”Oh, no, no guisantes. Me refiero a guantes. Jajajaja..” (Eh, bukan, bukan kacang polong. Maksudku tadi sarung tangan, hahaha).

Tortuga – Tortura
Suatu hari, saya, suami dan kedua mertua saya sedang berjalan-jalan di hutan dekat rumah. Lalu, saat kami sampai sampai di danau kecil. Saya melihat seekor kura-kura sedang berjemur.

Sambil tertawa riang, saya bilang, “Hwaa, hay una tortura!” (Wah, ada seekor kura-kura,! -mau bilang begini sebenarnya. Tapi karena saya bilang TORTURA bukannya TORTUGA, artinya malah jadi: Wah, ada penyiksaan!).

Mereka pun langsung memandang saya aneh. Lol.

Tenedor – Tendedor
Suatu hari, suami mau menutup kerai jendela. Mengetahui hal itu, saya yang sedang menggosok gigi di kamar mandi bilang, “Tambien puedes cogerme mi toalla en el tenedor, porfa?” (Sekalian tolong ambilin handukku di tempat jemuran donk -maksudnya tadi bilang ini, tapi saya malah bilang TENEDOR bukannya TENDEDOR).

Lalu, karena bingung tadi saya mintanya apa, akhirnya suami mengambil garpu di dapur..

Cuchara – Cucaracha
Tidak seperti kita yang pakai sendok dan garpu, orang Spanyol atau mungkin orang Eropa pada umumnya, makannya pakai garpu dan pisau. Suatu hari, kami makan bersama di tempat mertua. Menunya waktu tu adalah Fideuà, mirip Paella tapi dimasak menggunakan pasta bukan beras. Karena di meja hanya ada garpu dan pisau, saya pun beranjak untuk mengambil sendok di dapur.

Suami bertanya, “¿A dónde vas?” (mau kemana?).

A coger cucaracha, quiero comer con cucaracha,” (mau ambil kecoak, aku mau makan pakai kecoak). Maksudnya ambil sendok, CUCHARA, tapi nggak sadar bilang kecoak. Hahaha.

Lalu suami? Keselek.

Invierno – Infierno
Dua kata ini cuma berbeda satu huruf tapi artinya jauh bertolak belakang. Kalau untuk urusan huruf V, orang Spanyol itu mirip dengan orang Sunda. Maksudnya kalau di Sunda kan huruf V atau F suka dibaca P, dan kalau orang Spanyol, huruf V dibacanya B.

Jadi “Invierno” dibacanya iin-biyer-no. Saya yang belum terbiasa membedakan pengucapan huruf V dan F sudah pasti sering salah ucap. Kadang baik huruf V maupun F, saya pukul rata ngomongnya jadi seperti huruf B. Wes, embuh lah.

Volar – Follar
Dua kata ini kalau tertukar sungguh fatal jadinya. Seperti yang saya alami 2 tahun yang lalu. Suatu hari, saya dan teman-teman sekelas sedang melakukan studi lapangan. Saya yang saat itu sedang meneliti burung Mandar Hitam, kebagian mencari dan menghitung jumlah mereka. Mandar Hitam dalam bahasa Spanyol disebut FOCHA.

Lalu saat sesi diskusi, dosen saya bertanya:
Dosen  : “Y al final has visto algunas fochas, Putri?
(Jadinya kamu lihat fochas, nggak, Putri?).
Saya    : “Mmm, no. Ninguna.
(Mmm, nggak satupun saya lihat).

Pada saat yang bersamaan, saya melihat dua focha sedang berenang dari kejauhan.
Saya    : “Ah, mira. Hay dos fochas allí,
(Eh lihat, ada dua fochas di sana) seru saya sambil kegirangan).
Dosen  : “¿Dónde?” (Di mana?).

Namun dua focha itu tiba-tiba terbang, saya pun spontan berkata, “Oh, ahora están follando.” (Oh sekarang mereka sedang terbang -maksudnya sih mau bilang ini, tapi karena saya bilang follando bukannya volando, artinya malah jadi “oh, sekarang mereka sedang bersanggama”).

Lalu, kedua dosen saya pun menatap saya sambil tersenyum geli.

Korra-korra

Aku dan kamu, suatu hari ….

Kamu: Aku mau fregar dulu yah. Eh bahasa Indonesianya fregar apaan?
Aku: Cuci piring.
Kamu: Apa? Kuchiping??
Aku: Cu-ci-pi-ring
Kamu: Chuchii pirim
Aku: pi-ring.. ringgggg
Kamu: Ah susah. Kalau basa jawanya apa?
Aku: Kora-kora.
Kamu: Korra-korra.. itu aja deh lebih gampang. Aku mau korra-korra dulu yah.
Aku: …… (terserah deh)

-sekian-

Gaya Hidup Saya Berubah Selama di Spanyol

Snow in Andorra
Suatu hari di Andorra, 2018

Sebenarnya komentar beberapa teman saya yang bilang kalau saya tidak berubah setelah tinggal di Spanyol (baca post sebelumnya), kurang tepat. Selama hampir 3 tahun tinggal di Spanyol tentu saja saya berubah. Berikut adalah beberapa perubahan saya yang “signifikan” selama di sini.

Sering Masak

Ini adalah perubahan saya yang sangat signifikan. Hehehe. Dulu, sebelum pindah ke Spanyol, saya jarang banget masak lho, atau bisa dibilang nggak pernah masak. Bukannya malas, tapi ya gimana lagi, kan di dekat rumah banyak yang jual makanan. Tinggal jalan belok kiri, ada nasi padang; belok kanan, ada nasi pecel; bahkan diam di rumah aja banyak abang-abang yang lewat, tinggal manggil. Kalau lapar tengah malam pun ada yang nolong, yaitu abang tukang mie dok-dok, jadi hitung-hitung bagi rezeki (ih ngeles) hehehe. Tapi pas pertama kali menginjakkan kaki di Spanyol, duh, rasa makanannya belum ada yang cocok. Asin semua!!

Jadi salah satu cara untuk bertahan hidup di sini adalah meMASAK! Kalau buat mereka yang hanya jalan-jalan aja sih mungkin bisa bertahan, karena rata-rata paling lama cuma 2 minggu. Setelah itu bisa balik ke Indonesia lalu makan nasi padang. Hehehe. Tapi bagi mereka yang tinggal di luar negeri, mereka harus bisa survive. Jadi mau nggak mau harus (bisa) masak sendiri.

Dan sejak tinggal di sini, saya jadi rajin masak, resep nusantara tentu saja. Suami pun jadi terbiasa makan pedas. Saya jarang masak makanan Spanyol. Kalaupun masakan Spanyol, paling gampang bikin Tortilla de Patata, alias omelet kentang Spanyol. Saya juga jadi sering nonton kanal memasak di Youtube, atau follow akun resep masakan di Instagram. Kadang suka sedih kalau lagi browsing di Youtube cari ide resep, karena dijamin bakalan ngiler duluan. Duh kangen, pengen pulang. Lalu kalau mau masak resep yang sebenarnya gampang, harus disiapin bahan-bahannya dari jauh-jauh hari karena harus belanja dulu ke toko Asia di Barcelona (sekitar 25 km dari Sabadell, kota tempat saya tinggal).

Sering Jalan Kaki

Kalau di Jakarta atau Surabaya sudah pasti kemana-mana naik Ojol. Di sini, selain sistem transportasi umumnya yang bagus dan nyaman (tapi tetap harus hati-hati karena banyak copet juga di Barcelona), trotoarnya pun lebar jadi nyaman untuk jalan kaki.

Street in Jaen, Spain
Salah satu sudut jalan di Jaen, Spanyol (2016)

Barcelona dan Sabadell sih masih enak kalau untuk jalan kaki karena jalanannya relatif datar. Di Jaen, kota tempat saya kuliah dulu, jalanannya naik turun karena kontur tanahnya berbukit. Jadi lumayanlah olahraga tiap hari, nggak perlu pergi ke gym.

Suka Bawang Goreng

Dulu saya paling anti bawang goreng. Setiap kali pesan soto atau bubur ayam, saya selalu bilang, “Gak pake bawang goreng ya, Bang.” Tapi di sini, lidah saya tiba-tiba lupa kalau pernah benci bawang goreng. Jadi ceritanya waktu awal-awal tinggal di Jaen, saya diajak teman-teman makan di 100Montaditos, salah satu franchise makanan cepat saji di sini. Montadito adalah semacam sandwich berukuran mini dengan roti sejenis baguette. Lalu waktu saya makan salah satu montaditonya (rasa ikan tuna kalau tidak salah), eh kok tumben enak dan cocok di lidah. Ternyata ada bawang gorengnya. Oh, rasanya enak juga ternyata. Mungkin karena bawang goreng di sini umumnya dibuat dari bawang bombay jadi rasanya lebih lembut daripada bawang merah (shallot) goreng. Sejak itulah, bawang goreng menyelamatkan hidup saya. Di rumah, kami jadi selalu punya stock bawang goreng sekarang.

Sering Makan Indomie

Memang ya, dimana-mana kalau tinggal di luar negeri pasti yang bikin kangen adalah.. Indomie! Saya sebenarnya alergi MSG atau micin. Setiap kali makan Indomie atau snack yang banyak micinnya, saya pasti kembung dan pusing setelahnya. Jadi saya jarang sekali makan Indomie di Indonesia. Tapi di sini, Indomie itu pengobat rindu dan penyelamat kalau lagi malas masak. Hehehe.

Saya jadi ingat kata seorang teman saya, “Kalau di sini, makan Indomie itu BAHAYA. Tapi kalau di sana, kamu pasti BAHAGIA.” Aah, bener banget kamu, Jum.

Sering Makan Salad

Meskipun saya di sini jadi sering makan Indomie, saya juga jadi sering makan salad lho. Jadi seimbang kan? Hehehe. Sebenarnya dulu di Indonesia saya juga sering makan salad kok, alias lalapan. Hihi. Tapi memang kalau diperhatikan, kebiasaan makan sayur orang barat dengan orang Indonesia pada umumnya memang berbeda. Di sini sayur lebih banyak dimakan mentah. Kalau kita di Indonesia kan sayurnya selalu dimasak atau minimal ditumis, jadi sudah satu paket. Contohnya sayur bening/bayam, plecing kangkung, sayur sop, sayur lodeh, atau gado-gado. Aduh, mengetik namanya saja saya jadi lapar.

Tidak Pernah Setrika

Dulu sering sekali punya tumpukan baju di sudut kamar kos (kalau pas rajin nyuci, hihi) karena malas setrika. Saya harus mengumpulkan semangat yang cukup jauh-jauh hari sebelumnya. Di sini, sewaktu tinggal di Jaen, saya tidak pernah melihat teman kos saya setrika baju. Eh, pernah, tapi cuma sekali. Itupun karena bajunya masih lembab, waktu itu musim dingin jadi dia setrika bajunya dan cuma satu, yang mau dia pakai besok pagi.

Saya sempat berpikir, mungkin di sini anak-anak remajanya saja yang jarang setrika. Di rumah mereka pasti orang tuanya yang setrika baju. Eh, setelah menikah, ternyata suami dan mertua juga tidak pernah setrika. Setrikaan sih punya, tapi tidak pernah dipakai. Jadi setelah angkat jemuran, pakaiannya hanya dilipat dan masuk lemari. Saya sih senang, nggak perlu repot setrika. Cepat dan hemat (listrik). Kalau melipatnya bener, baju jadi nggak kusut kok. Coba deh, daripada baju ditumpuk-tumpuk, jadi rumah nyamuk.

Belajar Lebih Banyak Tentang Negeri (dan Diri) Sendiri

Tiga tahun tinggal di negeri orang membuat saya semakin belajar banyak hal tentang negeri sendiri. Karena yang pertama dan utama, di sini saya pasti dibanjiri banyak pertanyaan oleh orang-orang yang tidak tahu dan ingin tahu soal Indonesia. Contoh yang sederhana adalah ketika saya ditanya, “Bedanya antara bendera Indonesia dan Monako apa?” Duh apa yah. Selama ini saya hanya tahu kalau sama-sama berwarna merah putih. Tapi tentu saja ada bedanya. Jadi mau nggak mau saya harus browsing di internet untuk cari tahu jawabannya. Sejak itu, saya jadi sering browsing hal-hal sederhana tentang Indonesia yang tidak pernah saya perhatikan sebelumnya. Tanpa sadar, saya jadi lebih mencintai negeri sendiri justru saat tinggal di negeri orang.

Memang kita harus pergi merantau atau keluar dari zona nyaman kita selama ini untuk mengenal dunia luar. Dan yang paling penting adalah mengenal diri kita sendiri. Tidak harus keluar negeri kok, yang sederhana saja. Contohnya pergi ke tempat yang sama sekali belum pernah kita singgahi sebelumnya, ke tempat yang sama sekali berbeda bahasa dan budayanya, yang tidak ada satupun kerabat di sana. Lalu mau tidak mau kita harus beradaptasi dan memperluas perspektif kita dengan menjadi lebih terbuka dengan segala perbedaan. Karena di dunia ini tidak semua orang suka makan bubur ayam tanpa diaduk.